Silicon Valley Bank (SVB) dinyatakan kolaps Jumat pekan lalu. Bank terbesar urutan ke-16 di Amerika Serikat (AS) ini resmi bangkrut hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana untuk menambah modal.
Dapat dikatakan, perjalanan empat dekade SVB sebagai pemberi pinjaman pilihan dunia teknologi berakhir. Perusahaan ditutup karena kekhawatiran likuiditas. Kebangkrutannya membuat pasar di AS panik.
Presiden AS Joe Biden, Menteri Keuangan Janet Yellen, serta bank sentral The Fed langsung bersuara dan mengadakan rapat soal kejadian ini.
Lalu seperti apa sebenarnya SVB?
SVB awalnya didirikan pada tahun 1983. Lembaga yang berbasis di Santa Clara California ini, menyediakan layanan perbankan dan mengambil simpanan untuk perusahaan rintisan Silicon Valley, firma modal ventura, dan kelas berat teknologi.
Baca Juga : Mengapa Bitcoin Perlu Demokrasi untuk Tetap Desentralisasi
Sebagai pemberi pinjaman teknologi terkemuka, SVB melayani terutama untuk startup teknologi dan investor yang aktif di sektor ini di AS. Perusahaan terkenal yang terdaftar sebagai pelanggan SVB termasuk Pinterest, ZipRecruiter, dan Shopify.
“SVB menawarkan layanan keuangan dan perbankan untuk membantu, saat Anda memanfaatkan peluang bisnis, meningkatkan modal, melindungi ekuitas, mengelola arus kas, dan mengakses pasar global,” kata sebuah pesan di situs web bank tersebut, yang dikutip New York Post, Senin (13/3/2023)
Bank tersebut memiliki aset sebesar US$209 miliar per 31 Desember 2022. Kebangkrutan SVB adalah kegagalan bank terbesar kedua dalam sejarah, setelah Washington Mutual Inc dan yang terbesar dari jenisnya sejak krisis keuangan tahun 2008.
Sebelum kolaps, SVB dipimpin Greg Becker sebagai presiden dan CEO bank sejak 2011. Menurut situs web SVB, Becker pertama kali bergabung dengan bank tersebut pada tahun 1993 dan memegang berbagai peran kepemimpinan sebelum menduduki posisi teratas.
Meskipun tidak banyak diketahui kalangan bisnis di luar, SVB dilaporkan memainkan peran penting dalam mendukung sektor teknologi selama ledakan valuasinya belum ini. Detik-detik sebelum kolaps, bank sedang dalam pembicaraan untuk menjual dirinya sendiri setelah upaya untuk meningkatkan modal di luar gagal.
Pada Jumat sore, operasi SVB ditutup dan menempatkan asetnya di bawah kendali Federal Deposit Insurance Corp (FDIC). SVB menakuti investor setelah mengungkapkan pekan ini bahwa mereka telah menerima kerugian US$1,8 miliar dari penjualan US$21 miliar atas kepemilikan obligasinya.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbini menilai bangkrutnya SVB tidak akan berpengaruh besar bagi kelangsungan industri di Indonesia.
“Risiko ke Indonesia kecil secara langsung, karena ada beberapa indikator antara lain perbankan di Indonesia mempunyai kecukupan modal yang kuat.
Tidak ada juga startup di Indonesia yang terhubung langsung ke SVB Bank. Di valuated IHSG memang terjadi guncangan karena pengaruh pasar global,” katanya, dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (18/3/2023).
Sumber :finance.detik.com