Di beberapa negara, seperti El Salvador, aset kripto, termasuk Bitcoin, dapat digunakan sebagai alat pembayaran resmi bersamaan dengan mata uang dolar AS. Namun, mengapa di Indonesia aset kripto atau Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran?
Menurut Chief Compliance Officer (CCO) Reku, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Robby, dari awal, aturan untuk aset kripto di Indonesia menetapkan bahwa mereka dianggap sebagai komoditas atau aset, bukan alat pembayaran.
Robby menyebut bahwa regulasi untuk kripto telah berada di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagai komoditas. Namun, dalam Undang-Undang tentang Teknologi Sistem Keuangan (ITSK) ke depannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi aset kripto.
Dia berharap dengan pengawasan OJK, jika memang aset kripto dijadikan sebagai alat pembayaran, hal ini akan lebih mudah dipahami dan tidak disalahartikan. Tetapi penting untuk dicatat bahwa pembayaran dengan aset kripto tidak berarti bahwa kripto itu sendiri digunakan sebagai alat pembayaran, melainkan sebagai alat pindah aset, sementara pembayaran tetap menggunakan Rupiah.
Robby menekankan bahwa jika aset kripto ingin diakui sebagai alat pembayaran di Indonesia, akan memerlukan perubahan dalam Undang-Undang, karena saat ini, satu-satunya mata uang sah di Indonesia adalah Rupiah.
Baca Juga : Dubai Memblokir Penjualan Koin Islami, Kenapa?
Namun, dengan kemajuan teknologi blockchain dan munculnya dana terdesentralisasi serta keuangan digital, Bank Indonesia (BI) juga sedang mempertimbangkan penggunaan Mata Uang Digital Bank Indonesia (CBDC) Rupiah Digital.
Robby mengakhiri dengan menyatakan bahwa dengan terbukanya Indonesia terhadap perkembangan digital ini, ada harapan bahwa di masa depan, aset kripto bisa menjadi instrumen keuangan yang dapat dinikmati oleh semua sektor.[DS]