Sejak Taliban menguasai Afghanistan pada Agustus tahun lalu, otoritas AS telah memutuskan hubungan keuangan dengan negara itu untuk melemahkan ekonominya. Akibatnya, pengiriman uang menjadi masalah yang signifikan bagi warga Afghanistan. Warga Afghanistan tidak bisa mendapatkan bantuan asing karena sanksi AS. Untungnya, cryptocurrency telah muncul sebagai metode pembayaran alternatif yang layak.
Di saat Taliban mengambil alih kendali, seorang jurnalis dari provinsi Zabul, Farhan Hotik, tidak memiliki uang di sakunya. Satu-satunya sumber yang memungkinkannya melarikan diri ke negara lain adalah beberapa dolar dalam Bitcoin. Dia menarik penghasilannya dari dompet virtual dan mencari perlindungan di Pakistan dengan sepuluh saudara kandungnya.
Seperti yang Farhan nyatakan;
“Cryptocurrency tumbuh pesat di Afghanistan setelah rezim Taliban. Hampir tidak ada metode alternatif untuk menerima uang.”
Farhan dan rekan-rekannya menggunakan bursa Binance, yang memungkinkan perdagangan peer-to-peer (P2P) antar anggota jaringan. Dia mendidik masyarakat tentang crypto dan mengajar siswa di Afghanistan bahwa aset digital memiliki nilai walaupun tidak memiliki wujud fisik.
Afghanistan dengan Cepat Mengadopsi Crypto
Bank tidak dapat mengelola krisis keuangan dan menghentikan operasinya. Hal tersebut mendorong orang untuk beralih ke cryptocurrency untuk perdagangan dan, yang lebih penting, bertahan hidup.
Selain itu, pencarian Google untuk ‘crypto’ dan ‘Bitcoin’ meningkat pada bulan Juli tahun lalu. Sebelum Taliban menguasai Kabul, warga Afghanistan pun lebih suka menguangkan dana mereka tanpa melalui bank.
Demikian pula, aneksasi Taliban di Afghanistan mempercepat adopsi mata uang digital. Menurut sebuah laporan yang dirilis tahun lalu oleh perusahaan riset blockchain, Chainalysis, Afghanistan telah melampaui 154 negara lain dalam hal kepesatan adopsi kripto.
Setahun sebelum laporan itu, organisasi riset menunjukkan niatnya untuk menghapus Afghanistan dari daftar negara-negara kripto karena tingkat penerimaannya yang sangat rendah.
Baca juga Lelang Amal NFT Mars Panda untuk Membantu Pengungsi Afghanistan yang Terlantar
Sanzar Kakkar, seorang warga Amerika keturunan Afghanistan mendirikan HesabPay pada tahun 2019. Platform tersebut memungkinkan warga Afghanistan mengirim dan menerima uang menggunakan mata uang virtual. Kakkar percaya bahwa revolusi kripto Afghanistan dapat dilacak perjalannya dari sanksi AS terhadap Taliban.
Pembatasan yang Disebabkan Oleh Sanksi AS
Sanksi AS dimaksudkan untuk menghentikan semua transaksi dengan bank-bank Afghanistan. Seiring dengan pembatasan pembayaran mata uang, otoritas AS menyita aset Afghanistan senilai $7,1 miliar.
Selain itu, sistem Swift, umumnya dikenal sebagai Telekomunikasi Keuangan Antar Bank Seluruh Dunia, telah menangguhkan seluruh operasi dengan warga Afghanistan, membuat mereka tidak dapat melakukan transaksi keuangan internasional melalui sistem tersebut. Pengguna tidak dapat menarik dananya sendiri atau memperoleh pinjaman karena masalah likuiditas.
Kakkar menambahkan;
“Kami memanfaatkan cryptocurrency untuk mengatasi masalah ini, yaitu bahwa 22,8 juta orang Afghanistan berada di ambang kelaparan, termasuk satu juta anak-anak yang mungkin binasa pada musim dingin ini.”
Aplikasi seperti HesabPay memungkinkan warga Afghanistan untuk mengirim dan menerima uang secara langsung antar ponsel, tanpa bergantung pada bank dan menyimpan uang mereka dengan aman dari Taliban. Dalam waktu tiga bulan sejak diluncurkan, aplikasi ini mencapai 380.000 anggota dan 2,1 juta transaksi.
Sumber: Bitcoinist